Wednesday 3 February 2016

KARYA AGOES - Sejarah tugu-Tugu di Indonesia



Sejarah Tugu Patung Arjuna Wijaya
Description: C:\Users\Powerlogic\Pictures\chariot2.jpg
Patung Arjuna Wijaya atau juga disebut Patung Arjuna Wiwaha atau Patung Asta Brata adalah monumen berbentuk patung kereta kuda dengan air mancur yang terbuat dari tembaga yang terletak di persimpangan Jalan MH Thamrin dan Jalan Medan Merdeka. Perancang Patung Arjuna Wijaya adalah maestro pematung Indonesia asal Tabanan, Bali, Nyoman Nuarta. Patung ini dibangun sekitar tahun 1987, seusai lawatan kenegaraan Presiden Indonesia Soeharto dari Turki. Proses pembuatan Patung Arjuna Wijaya dikerjakan oleh sekitar 40 orang seniman dan pengerjaannya dilakukan di Bandung, Jawa Barat.[1]
Patung Arjuna Wijaya menggambarkan sebuah adegan dalam kisah klasik Mahabharata, di mana dua tokoh dari kubu Pandawa, yaitu Arjuna yang menggenggam busur panah dan Batara Kresna yang menjadi sais sedang menaiki kereta perang berkepala garuda yang ditarik delapan ekor kuda yang melambangkan delapan filsafat kepemimpinan "Asta Brata". Keduanya digambarkan sedang berada dalam situasi pertempuran melawan Adipati Karna yang berasal dari kubu Kurawa.
Latar belakang
Menurut Nyoman Nuarta, pembangunan patung Arjuna Wijaya dilatarbelakangi kunjungan kenegaraan Presiden Soeharto ke Turki di tahun 1987, dimana dia melihat banyak monumen yang menjelaskan tentang cerita-cerita masa lalu Turki di jalan-jalan protokolnya. Presiden Soeharto menyadari hal tersebut tidak dia jumpai di ruas jalan-jalan protokol di Jakarta, sehingga dia menggagas pembangunan sebuah monumen yang memuat filsafat Indonesia. Melalui Nyoman Nuarta akhirnya kisah Perang Baratayuda digunakan sebagai ide di balik wujud akhir patung tersebut.[1]
"Arjuna Wijaya" sendiri berarti "kemenangan Arjuna", yang menceritakan kemenangannya dalam membela kebenaran dan keberaniannya, simbol apresiasi terhadap sifat-sifat kesatrianya. Patung Arjuna Wijaya merupakan patung yang merupakan simbol bahwa hukum harus ditegakan tanpa pandang bulu. Hal ini dilatarbelakangi salah satu episode dalam cerita Bharatayuddha di mana Arjuna bertempur melawan Adipati Karna yang merupakan saudaranya sendiri. Menurut Nyoman Nuarta, dalam epos Mahabharata, Arjuna pada awalnya ragu karena yang dilawannya adalah saudaranya sendiri, namun dia harus menentukan sikap demi kebaikan orang yang lebih banyak, dia harus mengalahkan Adipati Karna yang berdiri di pihak Kurawa.[2]
Delapan kuda yang menarik kereta perang tersebut melambangkan delapan filsafat kepemimpinan sesuai alam semesta, yang disebut "Asta Brata" yaitu : Kisma (bumi), Surya (matahari), Agni (api), Kartika (bintang), Baruna (samudera), Samirana (angin), Tirta (hujan), dan Candra (bulan). Tampilan kuda-kuda Asta Brata ini telah menjadi ciri tersendiri bagi Patung Arjuna Wijaya, dimana sebagian patung kuda memperlihatkan bentuk bagian tubuh yang utuh, namun sebagian lagi berbagian tubuh transparan. Bentuk ini telah menjadi daya tarik tersendiri bagi pengunjung yang ingin menghitung jumlah kuda Asta Brata. Menurut Nyoman Nuarta, jumlah patung kuda Asta Brata yang sesungguhnya adalah delapan, di mana yang transparan merupakan bayangan kuda-kuda Asta Brata tersebut.[3]
Pembangunan
Menurut Nyoman Nuarta, patung Arjuna Wijaya membutuhkan biaya sekitar 290 hingga 300 juta rupiah dalam penyesuaian harga tahun 1987. Patung ini direnovasi pada awal Oktober 2014 dan diresmikan kembali oleh Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama pada 11 Januari 2015, didampingi Nyoman Nuarta dan jajaran direksi BanK OCBC selaku pihak yang melakukan renovasi. Patung mengalami penambahan bayangan gerak kuda, perbaikan instalasi air mancur, dan tempat untuk berpose di bagian depan patung.[2]


Sejarah Tugu Patung Sura dan Buaya
Description: C:\Users\Powerlogic\Pictures\Patung_Sura_dan_Buaya.jpg
Patung Sura dan Buaya (Jawa: Patung Suro lan Boyo) adalah sebuah patung yang merupakan lambang Kota Surabaya. Patung ini berada di depan Kebun Binatang Surabaya. Patung ini terdiri atas dua hewan ini yang menjadi inspirasi nama kota Surabaya: ikan sura dan buaya.
Legenda Cerita Rakyat
Dahulu, di lautan luas sering terjadi perkelahian antara ikan hiu Sura dengan Buaya. Mereka berkelahi hanya karena berebut mangsa. Keduanya sama-sama kuat, sama-sama tangkas, sama-sama cerdik, sama-sama ganas, dan sama-sama rakus. Sudah berkali-kali mereka berkelahi belum pernah ada yang menang atau pun yang kalah. Akhimya mereka mengadakan kesepakatan.
“Aku bosan terus-menerus berkelahi, Buaya,” kata ikan Sura.
“Aku juga, Sura. Apa yang harus kita lakukan agar kita tidak lagi berkelahi?” tanya Buaya.
Ikan Hiu Sura yang sudah memiliki rencana untuk menghentikan perkelahiannya dengan Buaya segera menerangkan.
“Untuk mencegah perkelahian di antara kita, sebaiknya kita membagi daerah kekuasaan menjadi dua. Aku berkuasa sepenuhnya di dalam air dan harus mencari mangsa di dalam air, sedangkan kamu berkuasa di daratan dan mangsamu harus yang berada di daratan. Sebagai batas antara daratan dan air, kita tentukan batasnya, yaitu tempat yang dicapai oleh air laut pada waktu pasang surut!”
“Baik aku setujui gagasanmu itu!” kata Buaya.
Dengan adanya pembagian wilayah kekuasaan, maka tidak ada perkelahian lagi antara Sura dan Buaya. Keduanya telah sepakat untuk menghormati wilayah masing-masing.
Tetapi pada suatu hari, Ikan Hiu Sura mencari mangsa di sungai. Hal ini dilakukan dengan sembunyi-sembunyi agar Buaya tidak mengetahui. Mula-mula hal ini memarig tidak ketahuan. Tetapi pada suatu hari Buaya memergoki perbuatan Ikan Hiu Sura ini. Tentu saja Buaya sangat marah melihat Ikan Hiu Sura melanggar janjinya.
“Hai Sura, mengapa kamu melanggar peraturan yang telah kita sepakati berdua? Mengapa kamu berani memasuki sungai yang merupakan wilayah kekuasaanku?” tanya Buaya.
Ikan Hiu Sura yang tak merasa bersalah tenang-tenang saja. “Aku melanggar kesepakatan? Bukankah sungai ini berair? Bukankah aku sudah bilang bahwa aku adalah penguasa di air? Nah, sungai ini ‘kan ada airnya, jadi juga termasuk daerah kekuasaanku,” kata Ikan Hiu Sura.
“Apa? Sungai itu ‘kan tempatnya di darat, sedangkan daerah kekuasaanmu ada di laut, berarti sungai itu adalah daerah kekuasaanku!” Buaya ngotot.
“Tidak bisa. Aku “kan tidak pernah bilang kalau di air hanya air laut, tetapi juga air sungai,” jawab Ikan Hiu Sura.
“Kau sengaja mencari gara-gara, Sura?”
“Tidak! Kukira alasanku cukup kuat dan aku memang di pihak yang benar!” kata Sura.
“Kau sengaja mengakaliku. Aku tidak sebodoh yang kau kira!” kata Buaya mulai marah.
“Aku tak peduli kau bodoh atau pintar, yang penting air sungai dan air laut adalah kekuasaanku!” Sura tetap tak mau kalah.
“Kalau begitu kamu memang bermaksud membohongiku ? Dengan demikian perjanjian kita batal! Siapa yang memiliki kekuatan yang paling hebat, dialah yang akan menjadi penguasa tunggal!” kata Buaya.
“Berkelahi lagi, siapa takuuut!” tantang Sura dengan pongahnya.
Pertarungan sengit antara Ikan Hiu Sura dan Buaya terjadi lagi. Pertarungan kali ini semakin seru dan dahsyat. Saling menerjang dan menerkam, saling menggigit dan memukul. Dalam waktu sekejap, air di sekitarnya menjadi merah oleh darah yang keluar dari luka-luka kedua binatang itu. Mereka terus bertarung mati-matian tanpa istirahat sama sekali.
Dalam pertarungan dahsyat ini, Buaya mendapat gigitan Ikan Hiu Sura di pangkal ekornya sebelah kanan. Selanjutnya, ekornya itu terpaksa selalu membelok ke kiri. Sementara ikan Sura juga tergigiut ekornya hingga hampir putus lalu ikan Sura kembali ke lautan. Buaya puas telah dapat mempertahankan daerahnya.
Pertarungan antara Ikan Hiu yang bernama Sura dengan Buaya ini sangat berkesan di hati masyarakat Surabaya. Oleh karena itu, nama Surabaya selalu dikait-kaitkan dengan peristiwa ini. Dari peristiwa inilah kemudian dibuat lambang Kota Madya Surabaya yaitu gambar ikan sura dan buaya.
Namun adajugayang berpendapat Surabaya berasal dari Kata Sura dan Baya. Sura berarti Jaya atau selamat Baya berarti bahaya, jadi Surabaya berarti selamat menghadapi bahaya. Bahaya yang dimaksud adalah serangah tentara Tar-tar yang hendak menghukum Raja Jawa.Seharusnya yang dihukum adalah Kertanegara, karena Kertanegara sudah tewas terbunuh, maka Jayakatwang yang diserbu oleh tentara Tar-tar. Setelah mengalahkan Jayakatwang orang-orang Tar-Tar merampas harta benda dan puluhan gadis-gadis cantik untuk dibawa ke Tiongkok. Raden Wijaya tidak terima diperlakukan sepereti ini. Dengan siasat yang jitu, Raden Wijaya menyerang tentara Tar-Tar di pelabuhan Ujung Galuh hingga mereka menyingkir kembali ke Tiongkok.
Selanjutnya, dari hari peristiwa kemenangan Raden Wijaya inilah ditetapkan sebagai hari jadi Kota Surabaya.
Surabaya sepertinya sudah ditakdirkan untuk terus bergolak. Tanggal 10 Nopmber 1945 adalah bukti jati diri warga Surabaya yaitu berani menghadapi bahaya serangan Inggris dan Belanda.
Di zaman sekarang, pertarungan memperebutkan wilayah air dan darat terus berlanjut. Di kala musim penghujan tiba kadangkala banjir menguasai kota Surabaya. Di musim kemarau kadangkala tenpat-tempat genangan air menjadi daratan kering. Itulah Surabaya.
SEJARAH TUGU PATUNG HERMES/DEWA YUNANI
Description: patung_HERMES
Di tengah padatnya lalu lintas di kawasan Harmoni Jakarta Pusat, ada satu hal yang menarik perhatian, yakni patung kecil berwujud manusia dengan tangan kanannya menunjuk ke arah langit dan berwarna perunggu gelap yang bertengger di jembatan Harmoni. Patung Dewa Hermes, namanya. Dewa Hermes (dalam mitologi Yunani) atau Dewa Merkurius bagi bangsa Romawi adalah putra dari Dewa Zeus dan Peri Maya. Hermes berperan sebagai pesuruh dan pembawa berita. Hermes juga dikenal sebagai dewa yang cerdas dan juga cepat gerak-geriknya, dewa pelindung para pedagang dan penggembala. Patung Hermes di Batavia dibuat berdasarkan patung Hermes karya Giambolog atau Giovanni Bologna (1529-13 Agustus 1608). Ia adalah pematung terkenal di zaman Renaissance. Pada awalnya merupakan milik Karl Wilhelm Stolz, seorang pedagang Jerman yang kemudian menjadi warga negara Belanda. Stolz membelinya di Hamburg sekitar tahun 1920. Stolz yang memiliki toko di Jl. Veteran, Batavia, meletakkan patung itu di halaman rumahnya. Kemudian pada tahun 1930, Stolz menjual tokonya dan menyumbangkan patung Hermes tersebut pada pemerintah Batavia sebagai tanda terimakasih atas kesempatan yang didapatkannya untuk berdagang di Hindia-Belanda. Patung perunggu dewa pelindung para pedagang seberat 70 kg itu akhirnya dipasang di jembatan Harmoni yang sudah dibangun sejak 1905. Lokasi tersebut dipilih karena letak jembatan Harmoni berada di mulut Jl. Hayam Wuruk yang saat itu sudah menjadi daerah perdagangan yang ramai. Pada tahun 1999, patung ini nyaris jatuh ke kali karena penyangganya tertabrak mobil hingga bagian kakinya mengalami kerusakan. Akhirnya patung seberat 70 kg yang merupakan salah satu benda cagar budaya yang dilindungi Pemprov DKI Jakarta ini diamankan oleh Dinas Pekerjaan Umum. Kemudian pada tahun 2000 patung ini dipindahkan ke halaman belakang Museum Sejarah Jakarta dengan alas an keamanan. Kini, patung Hermes asli yang merupakan saksi bisu perkembangan Jakarta dari masa ke masa ini dapat dilihat di halaman belakang Museum Sejarah Jakarta (Museum Fatahillah), atau seringkali disebut Gedung Fatahillah, kawasan Kota Tua (lihat disini). Sedangkan replikanya dibuat oleh pematung Arsono dari Yogyakarta dan ditempatkan di jembatan Harmoni tempat asal dari patung yang aslinya, sampai sekarang. Patung replika putra Zeus itu beratnya mencapai 100 kg.


SEJARAH TUGU THOMAS PARR

Description: C:\Users\Powerlogic\Pictures\index.png
Salah satu yang menarik dalam berwisata ke provinsi Bengkulu adalah sebuah monumen persatuan rakyat Bengkulu melawan penjajah Inggris di Monumen Thomas. Tugu Tomas Parr (Parr Monument) adalah salah satu bangunan bersejarah peninggalan Inggris yang ada di jantung kota Bengkulu. Orang Inggris memberi nama “Parr Mausoleum” (kuburan besar Gubernur Parr). Sedangkan orang Bengkulu menyebutnya sebagai “Kuburan Bulek” (Kuburan Bulat) – mungkin karena bentuk fisik bangunannya yang bulat. Dan setelah kedatangan Sir Thomas Stamford Raffles, lebih popular dengan nama “ Raffles Park” (Taman Raffles).
Letaknya berdekatan dengan Benteng Marlborough, hanya berjarak sekitar 170 m di sebelah tenggara. Monumen berbentuk tugu dengan luas 70 meter persegi dan tinggi 13,5 meter ini dibangun oleh pemerintah Inggris pada tahun 1808 untuk memperingati Residen (Gubernur) Thomas Parr yang tewas dibunuh oleh rakyat Bengkulu.
Nama Thomas Parr mungkin sangat asing di telinga kebanyakan orang. Namun nama ini tidak demikian asing bagi penduduk kota Bengkulu. Paling tidak masyarakat Bengkulu mengenal nama itu dari nama sebuah monumen bernama Tugu Thomas Parr. Bisa dikatakan Tugu Thomas Parr ini sebagai salah satu ikon kota Bengkulu. Hampir mirip dengan Monumen Tugu yang ada di kota Yogyakarta. Monumen ini pun menyiman nilai historis yang sangat tinggi. Pembangunan monumen ini dilakukan oleh Pemerintah Inggris sebagai penghormatan sosok seorang Thomas Parr di kota Bengkulu. 
Selama 140 tahun berada di Bengkulu, orang-orang Inggris banyak yang meninggal dunia. Kematian orang-orang Inggris tersebut kebanyakan disebabkan oleh serangan penyakit malaria dan disentri, dan tewas dalam konflik-konflik dengan rakyat Bengkulu. Orang-orang Inggris yang meninggal di Bengkulu pada masa itu tercatat sebanyak 709 orang. Apabila diambil angka rata-rata maka selama 140 tahun 5 orang Inggris yang meninggal setiap tahunnya. Sebagian dari orang-orang Inggris tersebut dimakamkan di pemakaman Inggris di Jitra, Bengkulu.
Di Bengkulu pada tahun 1808 dibangun sebuah monumen atau tugu peringatan bagi bangsa Inggris dalam zaman kompeni dulu. Monumen ini dibuat oleh Inggris untuk mengenang pengalaman pahit bangsa Inggris karena di tempat itu dikuburnya Thomas Parr bersama seorang asistennya yang terbunuh dalam satu insiden dengan rakyat Bengkulu pada malam tanggal 27 Desember 1807. Pembunuhan terhadap Thomas Parr ini disebabkan oleh akumulasi rasa tidak puas rakyat Bengkulu terhadap kebijaksanaan yang ditempuh oleh penguasa Inggris. Kebijaksanaan Parr yang menimbulkan ketidakpuasan di kalangan pribumi, antara lain pemberlakuan tanam paksa kopi dan pengubahan yang besar dalam peradilan pribumi tanpa persetujuan dan tanpa meminta nasihat dari para Kepala Adat Rakyat Bengkulu.
Tugu ini berupa bangunan monumental untuk memperingati Residen Thomas Parr yang tewas dibunuh rakyat Bengkulu. Keistimewaan Monumen Thomas Parr dapat dilihat dari dua aspek, yaitu aspek fisik bangunannya dan aspek sejarahnya. Dilihat dari aspek fisiknya, keistimewaan Monumen Thomas Parr dapat dilihat dari keunikan arsitekturnya. Monumen berbentuk tugu ini berdenah segi 8 dan mempunyai tiang-tiang bergaya corinthian (berbentuk bulat seperti balok kayu yang mengandung makna agar bangunan terlihat kokoh dan berwibawa). Pintu masuk pada tugu ini terdapat di bagian depan dan sisi kanan dan kiri. Bentuk dari pintu masuk ini lengkung sempurna dan tidak mempunyai daun pintu. Pada salah satu dinding di ruang dalam tugu terdapat sebuah prasasti, tapi pada saat ini sudah tidak dapat dibaca lagi. Bagian atas tugu mempunyai atap yang berbentuk kubah. Berdasarkan lukisan Joseph C Stadler dalam buku Prints of Sotut East Asia in The India Office Library terlihat di lokasi tugu ini terdapat Gedung Pemerintahan dan Gedung Dewan EIC. Monumen ini dibangun untuk mengenang Thomas Parr, seorang Residen Bengkulu dari Inggris yang tewas ditikam dan kemudian dipenggal kepalanya oleh penduduk setempat pada tahun 1807 ketika ia tengah beristirahat di rumahnya. Thomas Parr diduga dibunuh oleh orang-orang Bugis yang bekerja sebagai anggota keamanan perusahaan dagang Inggris (East India Company). Thomas Parr merasa khawatir dengan perkembangan kekuatan pasukan Bugis ini dan berupaya untuk mengurangi peran mereka, namun orang Bugis merasa tidak senang hingga akhirnya ia terbunuh.
Inggris membalas kematian Parr dengan menembaki sejumlah penguasa lokal yang dicurigai berada dibalik pembunuhan tersebut dan membumihanguskan desa-desa tempat tinggal mereka. Residen Thomas Parr (1805-1807) adalah penguasa Inggris ke empat puluh sembilan yang diangkat pemerintah Inggris (Residen pertama Bengkulu, penguasa sebelumnya di sebut Deputy Governor) Thomas Parr Menggantikan Deputy Governor Walter Ewer (1800-1805)(8),Parr sampai di Bengkulu tanggal 27 September 1805, menggantikan Govermen Walter Ewer. Thomas Parr dikenal sebagai penguasa Inggris yang angkuh dan ganas, dia adalah orang pertama yang memperkenalkan tanaman kopi dengan tanaman paksa di Bengkulu.

No comments:

Post a Comment