Sejarah Teuku Cik Ditiro
Teungku
Chik di Tiro (Bahasa Aceh, artinya Imam
ulama di daerah Tiro) atau Muhammad Saman (Tiro, Pidie, 1836 – Aneuk Galong, Aceh Besar, Januari 1891), adalah seorang pahlawan nasional dari Aceh.
Teungku
Muhammad Saman adalah putra dari Teungku Syekh Ubaidillah. Sedangkan ibunya
bernama Siti Aisyah, putri Teungku Syekh Abdussalam Muda Tiro. Ia lahir pada
tahun 1836, bertepatan dengan
1251 Hijriah di Dayah Jrueng kenegerian Cumbok Lam Lo,Tiro, daerah Pidie, Aceh. Ia dibesarkan
dalam lingkungan agama yang ketat.
Ketika
ia menunaikan ibadah haji di Mekkah, ia memperdalam lagi ilmu agamanya. Selain itu
tidak lupa ia menjumpai pimpinan-pimpinan Islam yang ada di sana, sehingga ia mulai tahu
tentang perjuangan para pemimpin tersebut dalam berjuang melawan imperialisme
dan kolonialisme. Sesuai dengan
ajaran agama yang diyakininya, Muhammad Saman sanggup berkorban apa saja baik
harta benda, kedudukan, maupun nyawanya demi tegaknya agama dan bangsa.
Keyakinan ini dibuktikan dengan kehidupan nyata, yang kemudian lebih dikenal
dengan Perang Sabil.
Dengan
perang sabilnya, satu persatu benteng Belanda dapat direbut.
Begitu pula wilayah-wilayah yang selama ini diduduki Belanda jatuh ke tangan
pasukannya. Pada bulan Mei tahun 1881, pasukan Muhammad Saman dapat merebut
benteng Belanda Lam Baro, Aneuk Galong dan lain-lain. Belanda akhirnya terjepit
di sekitar kota Banda Aceh dengan mempergunakan taktik lini konsentrasi (concentratie
stelsel) yaitu membuat benteng yang mengelilingi wilayah yang masih
dikuasainya.
Teuku
Cik di Tiro yang nama sebenarnya ialah Muhammad Saman, dilahirkan tahun 1836 di
Cumbok Lamlo, Tiro, daerah Pidie, Aceh. Ayahnya bernama Syekh Abdullah, guru
agama di Garot, dekat Sigli. Ibunya, Siti Aisyah, adalah adik dari Teungku Cik
Dayah Cut, ulama terkenal di Tiro. Saman menjalani masa kecilnya di dua tempat,
di Garot dan di Tiro. Di tempat-tempat itu ia bergaul dengan para santri.
Pelajaran agama mula-mula didapat dari ayahnya dan kemudian dari pamannya.
Ibunya mengajarinya menulis huruf Arab. Perhatiannya cukup besar terhadap
buku-buku tasawuf karangan Imam Ghazali.
Pelajaran yang diterima dari ayah dan pamannya
dirasanya belum cukup. Karena itulah ia pergi belajar pada beberapa guru lain,
seperti Teungku Cik di Yan di Ie Lebeu, Teungku Abdullah Dayah Meunasah Biang
dan Teungku Cik di Tanjung Bungong. Terakhir ia belajar pada Teungku Cik di
Lamkrak. Pulang dari Lamkrak, ia membantu pamannya mengajar di Tiro.
Pengetahuannya cukup luas. Teungku Cik Dayah Cut, pamannya, mengharapkan agar
Saman kelak mampu menggantikannya sebagai guru agama sesuai dengan tradisi
keluarga ulama Tiro. Sesudah mengajar beberapa waktu lamanya, Saman berniat
menunaikan ibadah haji. Sebelum berangkat, terlebih dulu dikunjunginya bekas
guru-gurunya untuk memohon doa restu, yang terakhir dikunjunginya ialah Teungku
Cik di Lamkrak, tetapi ternyata guru ini sudah meninggal dunia.
Di Lamkrak Saman telah menyaksikan suatu
perubahan. Para santri hanya belajar siang hari, pada malam hari mereka turut
bergerilya menyerang pos-pos tentara Belanda. Demikianlah suasana perang Aceh
melawan penindasan Belanda. Mau tak mau Saman ikut menyertai mereka. Cukup lama
ia tinggal di Lamkrak dan hampir saja niat untuk naik haji dibatalkannya.
Pada waktu itu perang Aceh — Belanda sedang
memasuki masa suram bagi rakyat Aceh. Daerah Aceh Besar seluruhnya sudah jatuh
di tangan Belanda. Pejuang-pejuang Aceh banyak yang bersembunyi di daerah
pedalaman, dan tetap melakukan serangan kecil-kecilan yang kurang
terorganisasi.
Perang Aceh — Belanda meletus pada tahun 1873.
Latar belakangnya ialah keinginan Belanda untuk menguasai daerah Aceh. Walaupun
pasukan Aceh berhasil menggagalkan pasukan ekspedisi pertama Belanda, bahkan
pimpinan ekspedisi, Jenderal Mayor Kohier tewas, namun mereka tidak mampu
menghalau ekspedisi Belanda yang kedua. Istana jatuh ke tangan Belanda, tetapi
beberapa hari sebelumnya, Sultan Aceh sudah menyingkir. Ia meninggal dalam
perjalanan karena serangan kolera. Kedudukannya digantikan oleh putranya yang
masih kecil. Sultan baru dan seluruh keluarga istana lalu menyingkir ke Keumala
Dalam, jauh di daerah pedalaman.
Pemimpin-pemimpin Aceh yang terkenal berani,
lambat-laun menghentikan kegiatannya. Panglima Polim menghindar dan tidak
bersedia ditemui oleh siapa pun. Ia kecewa, karena di dalam kalangan Aceh
sendiri timbul perpecahan. Ada pula pemimpin yang memihak Belanda.
Perlawanan semakin surut dan keadaan itulah yang
dilihat Saman di Lamkrak. Serangan gerilya yang dilancarkan oleh
pejuang-pejuang yang masih setia seperti para santri di Lamkrak
itu, namun tidak banyak hasilnya. Sebaliknya
justru menyengsarakan rakyat. Bila suatu malam sebuah pos Belanda diserang, tak
ayal besoknya Belanda mengadakan pembalasan dengan cara
membakar kampung-kampung yang ada di sekitarnya.
Saman menyadari hal itu dan ia mulai berpikir tentang perlunya disusun sebuah
kekuatan yang cukup besar. Untuk itu diperlukan persatuan semua golongan,
menghilangkan perbedaan faham dan curiga-mencurigai.
Dari Tiro datang pesan bertubi-tubi agar Saman
segera pulang. Atas desakan yang kuat dari pamannya, Teungku Cik Dayah Cut,
akhirnya Saman kembali ke Tiro. Setelah segala sesuatunya dipersiapkan, ia pun
berangkat ke Mekah. Kesempatan berkunjung ke tanah suci dimanfaatkannya untuk
bertukar pikiran dengan ulama-ulama terkemuka dan menambah ilmu
pengetahuan. Dalam bertukar pikiran itu tak lupa
ia membicarakan masalah perang Aceh—Belanda. Ia pun menyibukkan diri membaca
buku-buku dan majalah-majalah terbitan negeri
luaran yang menguraikan perkembangan dan
perjuangan dunia Islam.
Pulang dari Mekah, perhatian Saman tidak
sepenuhnya tertumpah kepada tugas-tugas mengajar di pesantren. Pikirannya
sewaktu bergerilya di Lamkrak kini muncul kembali. Ia mengetahui pula, bahwa
perlawanan rakyat semakin menurun. Kebetulan, pada suatu hari beberapa orang
utusan dari Gunung Biram, tempat sebagian kecil gerilya Aceh bermarkas, tiba di
Tiro. Mereka mengharapkan, agar salah seorang ulama Tiro bersedia memimpin
mereka untuk mengobarkan kembali semangat perang melawan Belanda. Teungku Cik
Dayah Cut sudah tua, dan karena itu ia tak mungkin melakukan tugas tersebut.
Saman memanfaatkan kesempatan itu.
Ia menyatakan kesediaannya untuk memenuhi
permintaan utusan dari Gunung Biram. Niatnya itu mendapat persetujuan dan restu
pamannya. Ketika itu Mohammad Saman berusia 44 tahun, berbadan gemuk dan
sedikit rabun. Rakyat yang menyangsikan kemampuannya, namun Saman tidak
mengindahkan ejekan orang-orang sekitarnya. Dengan ditemani beberapa orang,
setelah terlebih dulu menggadaikan sawah untuk bekal, ia pun berangkat ke
Gunung Biram.
Kepada anggota rombongan dan juga kepada
utusan Gunung Biram ia minta agar kepergiannya dirahasiakan. Tindakan pertama
yang dilakukannya ialah menghubungi beberapa orang tokoh yang dianggapnya mampu
untuk membantu perjuangannya. Berkat bantuan Tuanku Mahmud, keluarga Sultan
Aceh, ia berhasil menghubungi Panglima Polim. Tokoh yang sudah putus asa ini
tidak bersedia menerima sembarang orang, namun akhirnya bersedia membantu
Mohammad Saman. Ia berjanji akan memerintahkan para ulubalang agar mereka
membantu perjuangan, atau sekurang-kurangnya
tidak menghalangi rencana Saman. Selain itu dihubunginya pula tokoh lain yang
menjanjikan akan memberikan bantuan keuangan.
Tindak selanjutnya oleh Mohammad Saman ialah
mengumpulkan pejuang-pejuang yang masih ada dan tersebar di beberapa tempat.
Dengan kekuatan itu ia membentuk sebuah angkatan perang yang dinamakan Angkatan
Perang Sabil. Diumumkannya bahwa perang yang akan dilancarkan adalah perang
sabil melawan kaum kafir.
Di sekeliling Mereu didirikan benteng-benteng
pertahanan Senjata-senjata dikumpulkan dan diangkat pula orang yang akan
mengepalai tiap-tiap pasukan. Saman pun mengundang Syekh Pante Hulu untuk
membantunya. Syekh ini terkenal pandai membacakan syair karangannya sendiri
yang berjudul “Hikayat Perang Sabil”. Isinya, anjuran agar rakyat berperang
melawan Kaum kafir. Orang
Tampaknya Belanda tak mungkin mematahkan
perlawanan Cik di Tiro dengan kekuatan senjata. Pahlawan Aceh ini hanya mau
berdamai bilamana semua orang Belanda masuk Islam. Persyaratan itu dimanfaatkan
pula oleh Belanda. Beberapa orang Belanda menghadap Teungku Cik di Tiro untuk
menyatakan bersedia masuk Islam, tetapi sebenarnya mereka itu semata-mata
datang untuk memata-matai keadaan kekuatan
Angkatan Perang Sabil.
Teungku Cik di Tiro menjadi marah setelah
mengetahui siasat licik itu. Di puncak kemarahannya ia berkata: “Saya mau
membunuh semua orang Belanda yang ada di negeri ini.”
Mendengar ancaman itu Belanda menjadi ngeri.
Dengan segala daya upaya mereka mengadakan pendekatan sambil mengurung diri
dalam benteng-bentengnya.
Sementara itu, pada tahu 1884 Belanda mengirim
Dr. Snouck Hurgronye ke Mekah dengan menyamar sebagai dokter mata dan tukang
potret bernama Abdul Gafur. Tugasnya mengumpulkan sebanyak-banyak bahan tentang
orang-orang Aceh di luar negeri dan mencari hubungan dengan sebanyak mungkin
fihak Aceh dan fihak kaum jemaah untuk dapat melemahkan semangat perang di
Aceh.
Sepulangnya dari Mekah, pada tahun 1885, ia
diangkat menjadi penasehat pemerintahan Hindia Belanda. Penyamarannya itu
menghasilkan tiga buah buku yang dipakai Belanda sebagai pedoman menghadapi
orang Aceh, yaitu buku-buku:
1. Het Mekaansche feest; 2. De Atjehers; dan 3
Nederland en de Islam.
Dengan segala macam cara Belanda lalu mengadakan
pendekatan, sebab orang-orang Aceh tidak dapat dihadapi dengan perang saja.
Sultan didekatinya hingga ia bernafsu mengadakan perdamaian dengan Belanda dan
mencoba mempengaruhi Teungku Cik di Tiro, namun Panglima Sabil itu tetap
tidakbersedia dan berkata, “Damai berarti kalah.” Teungku Cik di Tiro tegak
tegap seperti baja yang tak dapat ditundukkan oleh apa dan siapa pun. Terhadap
orang kuat itu Belanda mencari muslihat secara licik. Mereka menemukan orang
yang berambisi menjadi kepala Sagi XXII Mukim. Kebetulan kepala Sagi itu,
Panglima Polim Muda Kuala, sudah berusia lanjut. Anaknya yang tinggal dengan
Sultan dijanjikan Belanda akan dijadikan penggantinya asal dia dapat membunuh
Teungku Cik di Tiro.
Pengkhianat itu meminjam tangan orang lain untuk
melaksanakan pembunuhan. Waktu Teungku Cik di Tiro datang di benteng Tui
Suilemeng ia pergi ke mesjid. Di sana ia dijamu oleh
Nyak Ubit, seorang wanita yang diperalat calon
pengganti kepala Sagi XXII untuk meracun Panglima Besar Angkatan Perang Sabil.
Nyak Ubit menghidangkan kepada Teungku makanan yang sudah dicampur racun.
Setelah memakan hidangan itu tanpa curiga, Teungku Cik di Tiro merasa sakit. Ia
dibawa ke benteng Aneuk Galong untuk diobati, namun nyawanya tidak tertolong.
Teungku Cik di Tiro wafat pada bulan Januari 1891. Tidak lama kemudian Panglima
Polim pun meninggal dunia. Dengan wafatnya 2 orang pemimpin yang amat kuat dan
fanatik itu. Aceh kehilangan tokoh perjuangannya.
Perjuangan Aceh padam sementara waktu hingga
tampilnya Teuku Umar di medan perjuangan dengan sama-sama gigihnya, namun
berbeda caranya. Teungku Cik di Tiro pada hakekatnya tidak terkalahkan oleh
Belanda. Wafatnya disebabkan cara Belanda yang licik dan keji. Perjuangan dan
jasa-jasanya tercatat dalam sejarah sepanjang masa. Pemerintah RI menghargainya
dan berdasarkan SK Presiden RI No. 87/TK/Tahun 1973 tanggal 6 Nopember 1973,
Teuku Cik di Tiro dianugerahi gelar Pahlawan Perjuangan Kemerdekaan.
Teungku
Chik di Tiro adalah tokoh yang kembali menggairahkan Perang Aceh pada tahun
1881 setelah menurunnya kegiatan penyerangan terhadap Belanda.[1] Bukti kehebatan
beliau dapat dilihat dari banyaknya pergantian gubernur Belanda untuk Aceh
semasa perjuangan beliau (1881-1891) sebanyak 4 kali, yaitu:
- Abraham Pruijs van der Hoeven (1881-1883)
- Philip Franz Laging Tobias (1883-1884)
- Henry Demmeni (1884-1886)
- Henri Karel Frederik van Teijn (1886-1891)
No comments:
Post a Comment