Sejarah Tugu Bandung Lautan Api
Peristiwa
Bandung Lautan Api adalah peristiwa kebakaran
besar yang terjadi di kota Bandung,
provinsi Jawa Barat, Indonesia
pada 23
Maret 1946.
Dalam waktu tujuh jam, sekitar 200.000 penduduk Bandung[1]
membakar rumah mereka, meninggalkan kota menuju pegunungan di daerah selatan
Bandung. Hal ini dilakukan untuk mencegah tentara Sekutu
dan tentara NICA Belanda
untuk dapat menggunakan kota Bandung sebagai markas strategis militer dalam Perang Kemerdekaan Indonesia.
Latar belakang
Pasukan
Inggris
bagian dari Brigade MacDonald tiba di Bandung pada tanggal 12
Oktober 1945.
Sejak semula hubungan mereka dengan pemerintah RI sudah tegang. Mereka menuntut
agar semua senjata api yang ada di tangan penduduk, kecuali TKR dan polisi,
diserahkan kepada mereka. Orang-orang Belanda yang baru dibebaskan dari kamp
tawanan mulai melakukan tindakan-tindakan yang mulai mengganggu keamanan.
Akibatnya, bentrokan bersenjata antara Inggris dan TKR tidak dapat dihindari.
Malam tanggal 21 November
1945, TKR dan badan-badan perjuangan melancarkan serangan terhadap
kedudukan-kedudukan Inggris di bagian utara, termasuk Hotel Homann
dan Hotel Preanger
yang mereka gunakan sebagai markas. Tiga hari kemudian, MacDonald menyampaikan
ultimatum kepada Gubernur Jawa Barat agar Bandung Utara dikosongkan oleh
penduduk Indonesia, termasuk pasukan bersenjata.
Ultimatum
Tentara Sekutu agar Tentara Republik Indonesia
(TRI, sebutan bagi TNI pada saat itu)
meninggalkan kota Bandung mendorong TRI untuk melakukan operasi "bumihangus".
Para pejuang pihak Republik Indonesia
tidak rela bila Kota Bandung dimanfaatkan oleh pihak Sekutu dan NICA. Keputusan
untuk membumihanguskan Bandung
diambil melalui musyawarah Madjelis
Persatoean Perdjoangan Priangan (MP3) di hadapan
semua kekuatan perjuangan pihak Republik Indonesia, pada tanggal 23
Maret 1946[2].
Kolonel Abdoel Haris Nasoetion
selaku Komandan Divisi III TRI mengumumkan hasil
musyawarah tersebut dan memerintahkan evakuasi Kota Bandung.[butuh rujukan]
Hari itu juga, rombongan besar penduduk Bandung mengalir panjang meninggalkan
kota Bandung dan malam itu pembakaran kota berlangsung.
Bandung
sengaja dibakar oleh TRI dan rakyat setempat dengan maksud agar Sekutu tidak
dapat menggunakan Bandung sebagai markas strategis militer. Di mana-mana asap
hitam mengepul membubung tinggi di udara dan semua listrik mati. Tentara
Inggris mulai menyerang sehingga pertempuran sengit terjadi. Pertempuran yang
paling besar terjadi di Desa Dayeuhkolot,
sebelah selatan Bandung, di mana terdapat gudang amunisi
besar milik Tentara Sekutu. Dalam pertempuran ini Muhammad
Toha dan Ramdan,
dua anggota milisi BRI (Barisan Rakjat Indonesia) terjun dalam misi untuk
menghancurkan gudang amunisi tersebut. Muhammad Toha berhasil meledakkan gudang
tersebut dengan dinamit.
Gudang besar itu meledak dan terbakar bersama kedua milisi tersebut di
dalamnya. Staf pemerintahan kota Bandung pada mulanya akan tetap tinggal di
dalam kota, tetapi demi keselamatan mereka, maka pada pukul 21.00 itu juga ikut
dalam rombongan yang mengevakuasi dari Bandung. Sejak saat itu, kurang lebih
pukul 24.00 Bandung Selatan telah kosong dari penduduk dan TRI. Tetapi api
masih membubung membakar kota, sehingga Bandung pun menjadi lautan api.
Pembumihangusan
Bandung tersebut dianggap merupakan strategi yang tepat dalam Perang Kemerdekaan Indonesia
karena kekuatan TRI dan milisi rakyat tidak sebanding dengan kekuatan pihak
Sekutu dan NICA yang berjumlah besar. Setelah peristiwa tersebut, TRI bersama
milisi rakyat melakukan perlawanan secara gerilya dari luar Bandung. Peristiwa
ini mengilhami lagu Halo, Halo Bandung
yang nama penciptanya masih menjadi bahan perdebatan.
Beberapa
tahun kemudian, lagu "Halo, Halo Bandung" secara resmi
ditulis, menjadi kenangan akan emosi yang para pejuang kemerdekaan Republik
Indonesia alami saat itu, menunggu untuk kembali ke kota tercinta mereka yang
telah menjadi lautan api.
Asal istilah
Istilah
Bandung Lautan Api menjadi istilah yang terkenal setelah peristiwa
pembumihangusan tersebut. Jenderal A.H
Nasution adalah Jenderal TRI yang dalam
pertemuan di Regentsweg (sekarang Jalan Dewi
Sartika), setelah kembali dari
pertemuannya dengan Sutan Sjahrir di
Jakarta,
memutuskan strategi yang akan dilakukan terhadap Kota Bandung setelah menerima
ultimatum Inggris tersebut.
"Jadi saya kembali dari
Jakarta, setelah bicara dengan Sjahrir itu. Memang dalam pembicaraan itu di
Regentsweg, di pertemuan itu, berbicaralah semua orang. Nah, disitu timbul
pendapat dari Rukana, Komandan Polisi Militer di Bandung. Dia berpendapat,
“Mari kita bikin Bandung Selatan menjadi lautan api.” Yang dia sebut lautan
api, tetapi sebenarnya lautan air."-A.H Nasution, 1
Mei 1997
Istilah
Bandung Lautan Api muncul pula di harian Suara
Merdeka tanggal 26
Maret 1946.
Seorang wartawan
muda saat itu, yaitu Atje Bastaman,
menyaksikan pemandangan pembakaran Bandung dari bukit Gunung Leutik di
sekitar Pameungpeuk, Garut.
Dari puncak itu Atje Bastaman melihat Bandung yang memerah dari Cicadas
sampai dengan Cimindi.
Setelah
tiba di Tasikmalaya,
Atje Bastaman dengan bersemangat segera menulis berita dan memberi judul "Bandoeng
Djadi Laoetan Api". Namun karena kurangnya ruang untuk tulisan
judulnya, maka judul berita diperpendek menjadi "Bandoeng Laoetan Api".
No comments:
Post a Comment